Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan C Warinussy Menilai Benih Rasisme OAP Sudah Lama Terjadi
3 min read
TOP-NEWS.id, MANOKWARI -Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua Barat Advokat Yan Christian Warinussy, SH melihat bahwa benih rasisme terhadap orang asli Papua sudah lama.
“Hal itu nampak sejak hilangnya Michael Rockefeller, anak laki-laki Gubernur New York Nelson Rockefeller yang berusia 23 tahun pada 18 November 1961 di wilayah pantai di Selatan Papua,” demikian disampaikan Yan kepada TOP-NEWS.id, Minggu (1/8/2021).
Menurutnya, Michael hilang ketika sedang mengumpulkan artefak untuk museum ayahnya. Sebab, kata dia, sebagai digambarkan oleh Dr Greg Poulgrain didalam bukunya berjudul : Bayang Bayang Intervensi Perang Siasat John F Kennedey dan Allen Dulles atas Sukarno (The Incubus Intervention Conflicting Indonesia Strategis of John F Kennedy and Allen Dulles).
Dimana pada alinea ketiga baris terakhir di halaman 251, Pulgrain menulis , “Jarak Michael Rockefeller berada sekitar 32 km dari daratan ketika ia meninggalkan kapalnya terbalik.
Tangki bensin motor yang awalnya dimaksudkan untuk mengapung itu, satu minggu kemudian ditemukan dicuci di daratan, jauh dari garis pantai, dan Michael diberitakan meninggal akibat kanibalisme yang menjadi alat politik untuk menyangkal penentuan nasib sendiri.”
Padahal urai Poulgrain bahwa ada seseorang bernama Rene Wassing yang sempat bersama Rockefeller muda berenang ketika itu dan Wassing telah meminta dengan sungguh-sungguh kepada Rockefeller muda untuk tidak pergi meninggalkan tangki bensin “pelampung” ketika itu, tapi Rockefeller lah, karena panik telah berenang melawan arus hingga hilang.
Di halaman 252 dari bukunya itu, Poulgrain menulis, “Hilangnya Michael Rockefeller dengan cara yang sama terbungkus rapat, tertutup kemungkinan adanya penjelasan lain dalam pertemuan media dan dampak politik dari kehilangan itu menjadi tragedi, tetap bagi rakyat Papua.”
Kendatipun mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (Sekjen PBB) Dag Hammarskjold telah membuat proposal bagi proses penentuan nasib sendiri bagi orang Papua.
Tapi menyusul kematian misteriusnya pada 26 September 1961 justru makin memperkuat pemikiran di Markas PBB yang selanjutnya memberi kesempat kepada Amerika Serikat “ikut serta aktif” dalam penyusunan naskah perjanjian pengalihan kekuasaan administratif atas Tanah Papua melalui lahirnya Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang justru melegalkan terjadinya alih kekuasaan administratif atas Tanah Papua 1 Mei 1963.
Atau enam tahun sebelum dilangsungkannya actbof free choice (Tindakan Pilihan Bebas) atau disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli di mulai dari Merauke, Wamena, Nabire, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan berakhir di Jayapura pada 2 Agustus 1969.
Hasilnya seluruh perwakilan rakyat Papua yang terdiri dari 1.025 orang memilih menjadi bagian dari Republik Indonesia. Kendatipun hasil Act of Free Choce (Tindakan Pilihan Bebas) atau Pepera tersebut belum disahkan secara hukum oleh PBB sesuai kelaziman hukum.
Sebab, tak ada satu kalimat pun dari Resolusi 2504 yang menyatakan mengesahkan hasil tersebut. Inilah sebabnya di dalam konsideran menimbang huruf e dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua diakui oleh negara Republik Indonesia bahwa Papua memiliki sejarah sendiri.
Sehingga, disiapkanlah “ruang” di dalam amanat Pasal 46 UU Otsus Papua bagi dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk melakukan klarifikasi sejarah Papua mulai sekarang ini.
“Berkenaan dengan peringatan 52 tahun berlangsung Act of free choice di Tanah Papua, menurut pandangan saya adalah menjadi saat penting bagi Pemerintah Indonesia bersama Gubernur Papua dan Papua Barat untuk segera memulai langkah hukum dalam membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Tanah Papua. Tugasnya jelas adalah mengumpulkan segenap informasi dan fakta mengenai dugaan pelanggaran HAM masa lalu serta fakta sejarah politik Papua dan memulai proses pengungkapan kebenaran demi terlaksananya rekonsiliasi di Tanah Papua,” tandasnya.