Dwikorita : Sistem Peringatan Dini Tsunami Belum Efektif Antisipasi Tsunami Non Tektonik
2 min read
(foto: BMKG)
TOP-NEWS.id, KOREA – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut sistem peringatan dini tsunami di kebanyakan negara belum efektif dalam mengantisipasi terjadinya bencana tsunami, khususnya yang dipicu aktivitas non seismik.
Sistem peringatan dini tsunami yang ada, menurut Dwikorita umumnya hanya ditujukan untuk tsunami megathrust yang sebelumnya didahului oleh gempabumi besar.
“Indonesia pernah merasakan dua kali tsunami yang justru bukan disebabkan oleh gempabumi yaitu tsunami Palu yang terjadi pada bulan September 2018 disebabkan tanah longsor dan tsunami Selat Sunda yang terjadi pada bulan
Desember 2018 yang dipicu aktivitas gunung berapi,” ungkap Dwikorita dikutip dari laman BMKG.
Hal ini ia sampaikan dalam World Tsunami Awareness Day Webinar yang diselenggarakan oleh UNESCO – IOC Intergovernmental Coordination Group for Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System, Selasa (7/11/2023).
Dalam Webinar yang mengusung tema “Fighting Inequality for a Resilient Future” tersebut, Dwikorita mengatakan, ketidakmampuan sistem peringatan dini tsunami pada tahun 2018 dalam memberikan informasi yang cepat terhadap tsunami yang dipicu aktivitas non seismik, menjadi pelajaran penting yang segera ditindaklanjuti oleh BMKG.
Dengan kejadian tsunami Tahun 2018 tersebut, ia mengatakan, InaTEWS semakin dikuatkan dengan
menambah jumlah peralatan sensor gempa untuk merapatkan jaringan monitoring.
Dwikorita menekankan bahwa kesiapsiagaan masyarakat adalah yang terpenting, terlepas dari kemajuan teknologi sistem peringatan dini. Menurutnya, masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah pesisir rawan tsunami sangat membutuhkan pendidikan dan kesadaran untuk merespons secara efektif.
“Mereka memiliki keterbatasan dalam mengakses peringatan dini.
Maka dari itu untuk mendorong tindakan dan kesiapsiagaan dini, informasi yang komprehensif dan mudah dimengerti, ditambah dengan
program pendidikan, sangatlah penting,” tambahnya.
Keunikan dan kompleksitas tsunami, diakui Dwikorits, membutuhkan teknologi peringatan dini yang inovatif yang digabungkan dengan kearifan lokal.
“Pengetahuan tentang kearifan lokal dapat secara efektif mengakomodasi kemampuan untuk mengakses peringatan dini bagi masyarakat terpencil. Jadi, kolaborasi antara teknologi dan kearifan lokal dapat memperkuat sistem peringatan dini gempabumi dan tsunami,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga menyinggung soal keberlanjutan upaya mitigasi dan kesiap-siagaan tsunami.
Dwikorita mencontohkan upaya kesiapsiagaan di Kota Palu, Sulawesi Tengah yang telah dibangun pada periode 2009-2014, harus kembali
dimulai dari nol karena adanya pergantian kepala daerah. Karena tidak adanya keberlanjutan, alhasil ketika tsunami melanda pada 2018 semua orang tidak siap.
“Upaya mitigasi dan kesiap-siagaan harus tetap berlanjut dari generasi ke generasi, tidak terputus. Bukan berarti karena tidak ada tsunami, upaya tersebut berhenti. Hal ini penting karena gempabumi dan tsunami bisa datang sewaktu-waktu,” imbuhnya.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, mulai dari akademisi, swasta, NGO, media, dan masyarakat umum untuk bahu-membahu dan berkolaborasi membangun kesiap-siagaan. Dwikorita meyakini kolaborasi tersebut akan semakin memperkuat sistem peringatan dini yang dibangun sehingga dapat semakin menekan risiko akibat gempabumi dan tsunami.