Soal PLTA Orya, Lima Komunitas Masyarakat Adat Kabupaten Jayapura Tuntut PLN. “Kami Ingin Keadilan”
6 min readKehadiran PLTA Orya sejak diresmikan 2016 oleh Presiden Jokowi hingga 2021, lima komunitas masyarakat adat di Kabupaten Jayapura belum pernah menikmati kompensasi dari pemerintah (PLN), mereka inginkan keadilan atas hak-hak mereka.
TOP-NEWS.id, JAYAPURA – Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Orya Genyem, Kabupaten Jayapura, Papua sebesar 2 x 10 megawatt (MW), sejak lama tengah menjadi masalah bagi lima Komunitas Masyarakat Adat Kabupaten Jayapura.
Pasalnya, sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan bersamaan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) Prafi 2 x 1, 25 MW, Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kilo Volt Genyem – Waena – Jayapura sepanjang 174,6 kilo meter sirkit. Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 70 kilo Volt Holtekamp – Jayapura sepanjang 43,4 kilo meter sirkit, Gardu Induk (GI) Waena – Sentani 20 Mega Volt Ampere, dan Gardu Induk (GI) Jayapura 20 Mega Volt Ampere.
Dari semua kelistrikan yang diresmikan Preaiden Jokowi dengan biaya Rp 989 miliar itu, PLTA Orya Genyem meyisahkan kekecewaan bagi lima Komunitas Masyarakat Adat setempat. Padahal dengan beroperasinya enam infrastuktur kelistrikan tersebut, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN Persero) mampu melakukan penghematan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) hingga Rp 161 miliar per tahun.
Terlebih, kehandalan listrik di Papua dan Papua Barat semakin baik, karena ditopang dengan sistem transmisi 70 kV dan Gardu Induk 20 MVA. Di mana SUTT 70 kV dan Gardu Induk tersebut merupakan GI pertama dan SUTT 70 kV pertama di Papua.
Peresmian enam infrastruktur kelistrikan Papua dan Papua Barat dilakukan di GI Waena, Kampung Harapan, Sentani, Kabupaten Jayapura pada Senin, 17 Oktober 2016. Presiden Jokowi didampingi Menteri BUMN Rini Soemarno dan Gubernur Papua Lucas Enembe.
Dan pada 2017, PT Indonesia Power dipercaya PLN Wilayah Papua dan Papua Barat untuk mengelola PLTA Orya Genyem yang terletak di Kampung Nimbonton, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura. Direktur Utama (Dirut) PT Indonesia Power Sripeni Inten Cahyani dan Direktur Operasi II Antonius RT Artono hadir pada acara penandatanganan Asset Management Contract (AMC) yang digelar di Hotel Shangrilla, Jumat (25/8/2017).
Sebagai pihak pertama, General Manager PT PLN (Persero) Wilayah Papua dan Papua Barat Yohanes Wilayah Papua dan Papua Barat Yohanes Sukrislismono menandatangani perjanjian PLTA dengan kapasitas terpasang 2×10 MW ini, paralel juga dilakukan oleh Dirut PT Indonesia Power Sripeni Inten Cahyani sebagai pihak kedua.
Perjanjian efektif berlaku selama dua tahun ke depan bertujuan untuk meningkatkan keandalan, efisiensi, dan perbaikan pengelolaan asset pembangkit secara berkesinambungan dalam rangka peningkatan kinerja dari PLTA yang memasok listrik ke beberapa daerah, seperti Jayapura, Sentani, Abepura, Genyem dan Arso.
Pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan di Papua dan Papua Barat merupakan bukti komitmen PLN untuk mendukung pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan sebagai sumber tenaga listrik hingga 23 persen pada 2025. Dan kini kelistrikan PLTA Orya sudah dinikmati semua kalangan di Papua.
Namun sayangnya, dari pembangunan kelistrikan yang sudah diresmikan Presiden Jokowi beberapa tahun lalu, tersisa kekecewaan warga masyarakat yang tinggal dan bercocok tanam menunjang perekonomian mereka di sekitar lingkungan PLTA Orya tersebut. Adalah, Komunitas Adat Elseng, Klisi, Kemtuk, Namblong, dan Unurum.
Sejak peresmian PLTA Orya oleh Presiden Jokowi, warga masyarakat dari lima komunitas adat di Kabupaten Jayapura itu hingga kini belum juga mendapatkan atau menikmati kompensasi dari pemerintah (PLN), walaupun mereka tahu bahwa adanya PLTA Orya sudah membantu warga masyarakat di Papua mendapatkan listrik hingga pelosok kampung.
Hak-Hak Adat Harus Dibayar
Yang diinginkan komunitas masyarakat adat, adalah hak mereka sebagai pemilik tanah, air, dan hutan agar menjadi perhatian pemerintah pusat, Pemprov Papua, dan Pemkab Jayapura demi kehidupan mereka dan masa depan anak cucu serta cicit mereka untuk mrndapatkan keadilan.
Zadrak Wamebu, SH MM sebagai mediator masyarakat adat merasa, kalau pemerintah tidak berpihak kepada mereka. Padahal yang diinginkan dari komunitas masyarakat adat ini, yakni menginginkan PLN memberikan kontribusi atau kompensasi sesuai hak-hak mereka.
Pada kesempatan pertemuan tersebut, para tokoh masyarakat dan sejumlah warga yang hadir saat itu, Jumat (30/4/2021) siang, mereka menginginkan keadilan dan menghargai hak-hak mereka oleh pihak PT PLN (Persero).
“Para tokoh adat ketika itu sudah diajak bicara dalam proses untuk menetapkan subyek hak dari lokasi intakenya dengan dilakukan melalui pemetaan partisipatif yang difasilitasi lembaga swadaya masyarakat lokal Papua. Yaitu, perkumpulan untuk pengkajian dan pemberdayaan Masyarakat Adat Papua,” kata Zadrak di Jayapura kepada wartawan, Jumat (30/7/2021) diaminkan warga lainnya.
Perlu diketahui, kata Zadrak, pejabat Papua yang saat itu menegosiasi dengan masyarakat adat, adalah dirinya sendiri.
“Waktu itu saya sendiri, saat menjabat sebagai Wakil Bupati Jayapura masih ada kelompok yang bermain di belakang. Karena, mereka tahu saya akan maju calon bupati. Mereka sebarkan isu bahwa bupati dan wabup korupsi dana PLTA Rp 60 miliar, bahkan sampai mereka demo di DPRD Kabupaten Jayapura,” jelas Zadrak dengan nafa kecewa.
Hal tersebut, kata dia, langsung diklarifikasi, dan ternyata tidak bisa dibuktikan. Ternyata Rp 60 miliar adalah rencana anggaran PLN untuk pembangunan PLTA, tetapi masyarakat sudah diisukan bupati dan wabup yang korupsi.
“Jadi saya marah dan akhirnya ketika selesai masa jabatan, saya putuskan untuk tidak membantu mereka. Tahun lalu mereka para tokoh adat datang minta maaf dan sekaligus minta bantuan untuk mediasi dengan pemerintah (Bupati Jayapura Mathius Awoitauw) yang berkuasa sekarang,” terangnya.
Sementara mengenai kesepakatan dengan pihak PLN, Zadrak menjelaskan, untuk lokasi intake (celah masuk air dari bendungan yang akan dialirkan ke penstock (pipa pesat) PLTA sudah ada dokumen tertulis berupa surat pelepasan hak adat dari masyarakat adat Unurum, Kampung Santosa dan Beneik.
“Jadi status lokasi intake, adalah hak milik PLN Persero, namun belum ada kompensasi dari PLN kepada masyarakat adat setempat berupa CSR (corporate social responsibility) dampak hadirnya PLTA itu, begitu juga kami minta jasa lingkungan yang sudah menjaganya. Dari keseluruhan nilai itu kami minta dibayar Rp 200 miliar sejak adanya PLTA Orya. Dan uang tersebut untuk kepentingan komunitas masyarakat adat, tentunya nilai uang sebesar itu pihaknya akan membuat badan khusus seperti lembaga untuk mengurus dan mengawasi, demi kepentingan masyarakat adat,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa hadirnya PLTA milik negara setidaknya memberikan tanggung jawab sosial perusahaan kepada warga masyarakat sekitar dengan pendekatan bisnis memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan dengan memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan bagi seluruh pemangku kepentingan.
“Kami merasa PLN atau pemerintah sampai sekarang belum memberikan bantuan kepada masyarakat adat setempat. Padahal kami yang punya sungai, hutan air dan tanah sejak turun temurun dari adat,” tandasnya.
SDA Milik Masyarakat Adat
Ambrosius Sanuel mewakili tokoh adat lainnya juga menambahkan bahwa
air sungai induk yang dipakai PLTA Orya, adalah dari gunung dan hutan kami masyarakat adat tempat kami berburu dan menokok sagu, dan menangkap ikan sejak leluhur kami sampai orangtua kami.
“Tetapi, sekarang PLN pakai jadi pembangkit listrik dan jual kepada kami juga. PLN jual listrik dapat uang, jadi kami juga harus dibayar kompensasi berupa jasa lingkungan dan CSR untuk penopang ekonomi kami. Oleh karena itu, kami mendukung penuh perjuangan Bapak Zadrak Wamebu bantu kami untuk masalah ini, demi anak cucu kami,” ucap Ambrosius Sanuel.
Sementara Agus Waisimon, Koordinator Komunitas Adat Klisi juga mengatakan bahwa Masyarakat Adat Klisi, Elseng dan Namblong punya tanah dan hutan, dan di atas tanah ulayat kami sungai itu mengalir.
“Didalam hutan ini, kami cari makan, kalau PLN tidak mau bayar jasa lingkungan dan CSR, maka sepanjang sungai Wais-Yenggu kami nanti bikin kebun kakao menjadi penghasilan kami agar bisa membayar uang sekolah anak-anak kami, juga untuk kebutuhan hidup kami, jadi kami minta hak kami untuk dibayar sesuai perhitungan kami yang sudah dikatakan bapak Zadrak tadi nilainya,” tegas Waisimon diamini tokoh adat yang hadir.
Zadrak menambahkan, tanggal 30 Maret 2021 Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayapura sudah memfasilitasi pertemuan dengan General Manager PLN Wilayah Papua dan Papua Barat dengan menyarankan untuk mengajukan tuntutan ke Kantor Pusat PLN Jakarta.
“Tapi dari mana biayanya untuk masyarakat bisa ke Jakarta? Pemkab Jayapura maupun Provinsi Papua seharusnya peduli dengan hak-hak masyarakat adat di Papua, bukannya membiarkan cari jalan sendiri. Kami hanya warga masyarakat atau rakyat dan punya kepala daerah yang seharusnya bisa membantu kesulitan rakyatnya. Jadi kami mohon Pemprov Papua maupun Pemkab Jayapura membantu hak-hak kami. Karena masalah ini pemprov dan pemkab sangat mengetahui hak-hak masyarakat adat di Papua,” urai Zadrak.
Ia juga menjelaskan bahwa saat ini pihaknya hanya menuntut hak-hak mereka. Dan hasil keputusan bersama masyarakat adat, kami pun sudah membentuk musyawarah adat bersama.
“Musyawarah bersama ini dilaksanakan berdasarkan kesepakatan para tokoh adat pemilik tanah, hutan, air dan sumber daya alam lainnya di kawasan aliran Sungai Ways hingga Yenggu yang didalamnya terdapat investasi PLN, yakni PLTA Orya,” jelas dia lagi.
Dikatakannya, Musyawarah Adat Bersama I atau yang pertama dilaksanakan di Kampung Bangai pada tanggal 6 – 8 Juli 2021.
“Kami berharap agar masalah kami dapat dibantu Presiden Jokowi bersama para Kabinetnya. Ini permohonan kami,”tutupnya.
https://www.youtube.com/watch?v=SJobkV75UuM