Menkes Beberkan Polemik Tarif PCR Hingga Obat Covid
3 min readTOP-NEWS.id, JAKARTA – Harga tes polymerase chain reaction (PCR) mengalami penurunan berkali-kali lipat sejak masif digunakan pertama kalinya di awal pandemi.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan alasannya dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di ruang rapat Komisi IX DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/11/2021).
“Memang kebijakan PCR, kalau boleh saya sampaikan kebetulan kami juga terlibat sejak awal, memang perubahannya terus terang drastis. Kita menyadari bahwa mungkin dalam hal penyampaiannya ke publik perlu kita sempurnakan,” ujar Menkes Budi.
Menkes lantas bercerita pengalaman saat masih menjadi Wakil Menteri BUMN. Ia menjelaskan, keterlibatan dalam pemesanan perdana mesin PCR produksi perusahaan asal Swiss, Roche, di akhir Maret 2021.
“Pada saat itu sulit sekali mendapatkan PCR Roche dan salah satunya yang sudah ada di dalam negeri dan paling besar kapasitasnya adalah mesin PCR Roche 6800 yang ada di PMI waktu itu,” katanya.
Menurutnya, mesin itu tidak terpakai karena reagen mahal sehingga ditawarkan ke Kementerian BUMN.
“Tapi karena harganya puluhan miliar jadi mahal sekali kami akhirnya melakukannya bekerja sama dengan IHC (Holding Rumah Sakit BUMN) per transaksi. Dan seingat saya pada saat itu belum termasuk biaya-biaya operasi dari RS (rumah sakit), per transaksinya kita sudah bayar hampir mendekati Rp 700 ribu,” ucap dia lagi.
Kemudian, lanjut mantan Direktur Utama Bank Mandiri itu, pemerintah membeli mesin PCR yang lebih murah dan dibagikan ke seluruh BUMN dan perguruan tinggi di Indonesia, sehingga harganya bisa turun.
“Dan saya ingat habis kita beli itu beroperasi mungkin di awal Mei dengan harga yang lebih murah dibanding harga di akhir Maret. Saya sendiri ingat waktu itu pertama kali masih Rp 2 juta kalau mau dites PCR,” tutur Budi.
“Tiga bulan kemudian kita nemu perusahaan-perusahaan dari China yang bisa memberikan alat dan reagen yang lebih murah. Jadi bapak ibu dalam sejarahnya harga itu terus menerus menurun,” terang dia.
Ia menbahkan bahwa proses penentuan harga tes usap PCR melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kemudian, BPKP menetapkan rentang harga yang wajar.
“Jadi sejak saya menjadi menkes ada dua kali mau ubah. Jadi sejak 23 Desember hingga sekarang sudah 10 bulan ada dua kali perubahan, yaitu pertama kali menjadi Rp 475 ribu dan yang kedua menjadi Rp 275 ribu. Itu semuanya berbasiskan advice atau masukan dari BPKP dan itu yang kita gunakan,” jelasnya.
“Dan memang BPKP sendiri kondisinya berubah, karena pasarnya itu berubah bapak ibu. Jadi makin ke sini makin banyak yang produksi, sehingga biaya cost-nya juga makin lama makin turun,” terang dia.
Selain tes PCR, Menkes juga memiliki target produksi obat Covid-19 racikan Merck, yaitu Molnupiravir, dapat dilakukan di Indonesia pada tahun depan. Obat ini diberikan kepada mereka yang positif Covid-19, namun belum masuk RS.
Berdasarkan uji klinisnya, dirinya bilang kalau Molnupiravir bisa mengurangi 50 persen kemungkinan pasien Covid-19 masuk RS.
“Apakah ada saingannya? Ada, baru keluar hari ini dari Pfizer. Tapi apakah dia sudah sejauh Molnupiravir mendapatkan approval-nya, masih agak tertinggal di belakang. Cuma dia klaimnya bisa lebih tinggi, bisa mengurangi derajat keparahan masuk RS-nya di atas 80 persen, malah ada yang bilang sampai 85 persen,” tandas dia.
“Jadi memang strategi therapeutic atau pengobatan sebagai salah satu dari empat strategi kita menangani pandemi emang bergerak juga. Ini sama seperti PCR,” pungkasnya.
Reporter: Jerry Hendra MS
Editor: Frifod