fbpx
Selasa, 8 Oktober 2024

TOP-NEWS

| KAMI ADA UNTUK ANDA

Grup Mambesak : “Menyanyi untuk Hidup dan Hidup untuk Menyanyi, Dahulu, Kini dan Nanti”

4 min read
Thontje Wolas Krenak (salah satu pendiri dan personel Mambesak Grup Musik, pembuat undangan pertama dari grupnya pada 3 Agustus 1978 bersama saksi bisu (mesin ketik) di Museum Loka Budaya Uncen, Abepura Jayapura.

TOP-NEWS.id, MANOKWARI – Tanggal 5 Agustus 1978 (43 tahun lalu), sekelompok mahasiswa asli Papua berkumpul di pelataran Museum Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen) Abepura, Jayapura, Papua, bersepakat membentuk grup musik tradisional asli Papua yang diberi nama Mambesak.

Kata Mambesak diambil dari Bahasa Biak (salah satu bahasa suku asli di wilayah Teluk Cenderawasih) yang merupakan sebutan bagi burung cenderawasih. Burung cenderawasih sendiri sebelumnya sudah dijadikan sebagai nama dari Komando Daerah Militer (Kodam) Cenderawasih yang berbasis di Jayapura serta Universitas Cenderawasih.

Sehingga, pilihan para pendiri Grup Mambesak yang dipimpin Arnold Clemens Ap (almarhum) saat itu, adalah diambil nama tersebut. Semula pada 3 Agustus 1978, Arnold C Ap meminta Thontje Wolas Krenak agar mengkonsep surat undangan untuk kepentingan rapat pembentukan grup musik legendaris Papua tersebut di Museum Loka Budaya Uncen Abepura.

“Setelah undangan jadi saat itu juga sebagai dituturkan Wolas Krenak kepada saya bahwa kemudian surat undangan pada bagian depan di lukis sendiri dengan pensil oleh almarhum Ap dan kemudian diperbanyak menggunakan mesin stensil di Loka Budaya Museum Antropologi Uncen saat itu dan dibagi dengan cara berjalan kaki menemui sejumlah orang yang diundang,” kata Yan Christian Warinussy kepada TOP-NEWS.id, menceritakan perihal nama Grup Mambesak, Kamis (5/8/2021).

Dikatakan Yan, dibentuknya Mambesak sebagai upaya nyata saat itu untuk mempertahankan jati diri musik, tari, seni drama dan puisi serta cerita rakyat asli Papua sebagai bagian dari khasanah nasional Indonesia saat itu.

Mengingat menurut Arnold.C Ap seperti dituturkan Wolas Krenak bahwa sejak awal integrasi Papua pasca Act of Free Choice (Tindakan Pilihan Bebas) atau Pepera 1969, terlihat adanya “serbuan” budaya non Papua dalam bentuk Tari Lenso, Tari Payung, Tari Lilin, bahkan ada Reog Ponorogo mewarnai setiap hajatan kaum birokrat pemerintahan daerah di Tanah Papua saat itu.

Dan di acara-acara apa saja, lebih dominan penampilan bentuk tarian dan budaya non Papua ditampilkan, sehingga seperti memarginalisasi budaya khas dan asli Papua. Sehingga, Mambesak bangkit untuk mengangkat kembali budaya asli Papua sebagai benih budaya asli di Tanah Papua yang dahulu bernama Irian Barat atau Irian Jaya dari kemungkinan kepunahannya akibat dominasi budaya non Papua.

Akhirnya Mambesak bertekad mempromosikan Papua dan Orang Asli Papua (OAP) melalui pentas musik, lagu, tari, seni drama, puisi, folklor, cerita rakyat dan mop (bercerita yang lucu-lucu atau komedian).

Yakni, kepada publik di Tanah Papua dan kawasan Pasifik, Indonesia dan dunia sejak saat itu (1978). Saat itu (5/8/1978) pukul 17:00 Wit, terbentuklah pengurus Mambesak Grup Musik yang diketuai Arnold C.Ap (almarhum). Wakil ketua Martiny Sawaki (almarhum), Yoppy Kafiar selaku Sekretaris, Bendahara Gusty Tethool.

Kemudian, Sam Kapissa (almarhum) selaku Koordinator Musik, Wolas Krenak selaku Koordinator Tari, Demy Kurni (almarhum) sebagai Koordinator Teater, Constant Ruhukail Koordinator Teknik, Bert Tanawani sebagai koordinator pers dan humas dan Marten Rumabar (Koordinator Distribusi).

Dibentuknya Mambesak Grup Musik ketika itu rupanya mendapat sambutan hangat di hampir seantero Tanah Papua. Dimana rakyat dari berbagai wilayah ada yang mengirim sendiri syair lagu maupun cerita rakyat dan mopnya ke Museum Loka Budaya Antropologi Uncen yang dijadikan sebagai Istana Mambesak.

Wolas mengisahkan, ada seorang bernama Bram Wekaburi yang naik kapal Teluk Kabui dari Manokwari membawa syair lagu dalam bahasanya di Kawasan Teluk Bintuni berjudul Na Sisar Matiti untuk diserahkan kepada Arnold Ap, dan kawan-kawan di Istana Mambesak agar dipopulerkan lewat rekaman suara.

“Anda bisa bayangkan, dia itu datang dari Bintuni ke Manokwari sendiri dan naik kapal laut ke Jayapura sendiri, lalu tiba di Pelabuhan Jayapura, dia naik taksi sendiri dengan semua biaya sendiri ke Abepura dan setelah serahkan lagunya kepada kami Mambesak. Dia kemudian kembali ke Manokwari dengan biaya sendiri dan kami tidak sedikitpun memberinya upah atau mengganti uang transportnya,” ungkap Krenak bercerita mengenai kedatangan Bram Wekaburi mengantarkan lagu asli bahasa daerah Teluk Bintuni “Na Sisar Matiti” tersebut.

Grup Musik Mambesak Terpatri Hingga Kkni

Grup Musik Mambesak (ist)

Tujuan Grup Musik Mambesak terpatri hingga kini dalam slogan besarnya : “Menyanyi untuk hidup, hidup untuk menyanyi, dulu, kini dan nanti”.

Mambesak dibentuk untuk menunjukkan kepada semua pihak bahwa Papua tidak hanya punya lagu Apuse dan Yamko rambe yang sudah dikenal sejak itu, tapi Papua itu kaya akan lagu, tari, seni drama (teater) dan mop serta musik tradisional dari berbagai suku yang ada dan merupakan masyarakat asli di atas Tanah Papua sejak dahulu hingga sekarang ini.

Sekaligus untuk memanifestasikan pernyataan politik di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyatakan bahwa budaya daerah merupakan puncak kebudayaan nasional Indonesia.

Itulah sebabnya Arnold C Ap bersama rekan-rekannya ketika itu yang terdiri dari 40 orang personel mulai merekam lagu-lagu asli Papua dan memperdengarkannya melalui acara gema universitaria, pelangi budaya dan pancaran sastera melalui siaran radio di Radio Republik Indonesia (RRI) Nusantara V di Tasangkapura, Jayapura.

Kini beberapa pemrakarsa, pendiri bahkan personel Grup Mambesak telah tiada, dan grup Musik Mambesak “seperti sedang tidur”, tetapi spirit dan semangatnya masih hidup di hati sanubari bahkan jiwa raga rakyat Papua.

Beberapa benda penting yang mengantar catatan sejarah Grup Musik Legendaris Mambesak ini masih ada di Museum Loka Budaya Antropologi Uncen, seperti mesin ketik yang pertama kali digunakan Wolas Krenak untuk membuat surat undangan.

Serta pita suara rekaman lagu-lagu Mambesak Grup musik yang semestinya segera dilindungi berdasarkan ketentuan perlindungan hak kekayaan intelektual berdasarkan hukum.

Dirgahayu Mambesak ke 43 (5 Agustus 1978-5 Agustus 2021). “Menyanyi untuk hidup dan hidup untuk menyanyi, dahulu, kini dan nanti”

Dilaporkan : Advokat Yan Christian Warinussy, SH

Copyright © TOP-NEWS.ID 2024 | Newsphere by AF themes.